Apakah kita menggantungkan skena ini hanya pada diss track?
Oleh: Rayhan Naufal Asyrafi
Skena hip - hop sedang panas dengan terjadinya fenomena diss track akhir - akhir ini. Para musisi yang hadir dari musisi tersebut antara lain Ben Utomo, Xhaqala, Saykoji, Explicit Verbal dan Lilyo. Semua berawal ketika Xhaqala mengeluarkan pendapatnya tentang acara "Beef Rap Battle" di zine Hell Magz. Ben Utomo sebagai orang yang mempunyai andil dalam acara tersebut meresponnya lewat diss track berjudul "Basian". Api yang terpercik tersebut diperbesar kobarannya oleh Saykoji dengan track "Melempem".
Meskipun, diss track sendiri bukanlah hal yang baru ataupun tabu dalam skena hip - hop, bahkan skena musik dengan aliran lainnya. Tapi kami ingin melihat apakah kita mampu atau bahkan pantas untuk mengadopsi budaya hip - hop tersebut dan menjadikannya konsumsi publik kita?
Banyak yang bilang bahwa diss track menjadi hal yang membesarkan skena hip - hop di Indonesia sendiri. Kemunculan Young Lex kala itu dengan segala kontroversinya mampu menjadi sebuah fenomena unik saat itu. Kehadirannya menjadi ajang musisi hip - hop baik yang sudah lama mengisi skena ataupun yang baru hadir. Banyak dari mereka yang muncul dengan diss tracknya masing - masing untuk merespon 'kelakuan' Young Lex yang kontroversial saat itu.
Diss track sendiri tidak selalu berakhir perseteruan yang panjang. Seperti Saykoji, Lilyo, dan Explicit Verbal yang mengakhiri semuanya dengan pertemuan dan damai.
Meledaknya skena hip - hop lewat fenomena diss track saat itu sendiri tidak bisa lepas dengan kecenderungan yang dimiliki publik kita sendiri. Drama dan lirik saling benci yang hadir dalam diss track adalah konsumsi favorit publik kita. Jelas, diss track mempunyai pasar besar di Indonesia.
Agaknya pasar yang menjanjikan tersebut menjadi sangat menggiurkan bagi para pelaku skena tersebut. Kami melihat sejak fenomena Young Lex saat itu, skena ini mengalami euforia yang naik turun, dan hanya naik ketika sebuah drama diss track muncul kembali.
Budaya kita yang lekat dengan budaya tata krama adalah sebuah hal yang berlawanan dengan budaya diss track ini. Di tengah gencarnya terpaan budaya dari segala arah, harus ada penyesuaian terhadap budaya yang hadir. Tanpa memungkiri kenyataan bahwa diss track tidak bisa lepas dari budaya hip - hop, namun kita tidak bisa terus menggantungkan harapan kita terhadap skena ini hanya lewat diss track.
Keterkaitan antara pelaku skena dan penikmatnya sendiri tidak bisa kita pisahkan. Kita tidak bisa menyalahkan keduanya untuk hal ini. Terlalu sulit untuk merubah kebiasaan publik dalam mengkonsumsi konten, tapi kita tidak mampu juga untuk menghapuskan budaya diss track dari hip - hop itu sendiri.
Kami sendiri tidak ingin menjadi orang yang menghilangkan diss track dari hip - hop itu sendiri. Layaknya sebuah makanan, hip - hop harus tetap punya bumbu penyedap. Dan diss track haruslah menjadi bagian itu. Diss track harus bersifat pelengkap dari pertunjukan yang dihadirkan.
Kita tidak bisa menyalahkan pasar, namun memang bahwa pelaku skena ini harus bekerja lebih keras untuk menghadirkan ide segar dan alternatif baru untuk mengangkat nama skena ini.
Pada akhirnya, pelaku skena dan penikmatnya harus saling suportif. Repitisi akan fenomena diss track ke depannya akan membuat pandangan yang salah terhadap skena ini. Para penikmat harus bersifat suportif dan mendorong para pelaku skena untuk menghadirkan ide yang lebih menarik daripada sebuah diss track untuk mengangkat nama skena ini dalam kualitas, bukan kuantitas.
the only way to revive the wave is to present new ideas and sounds to the scene. Dissing is easy, and being great and pushing the scene doesn’t come in easy steps. (BAP, dalam wawacaranya dengan whiteboard journal)
Comments