top of page

Gayam 16, Bukti Gamelan Tak Lekang Oleh Zaman

Menjaga Gamelan dengan Inovasi dan Adaptasi


Oleh: Dianggi Ananda Putri


Gayam 16, dan 3 komunitas musik Prancis, Inouï Productions (Avignon), Le Phare à Lucioles (Sault) dan Chef Menteur (Lyon) dalam pertunjukan bertajuk Balungan – Dokumentasi: Youtube Eno Dewati

Alunan suara lembut gamelan diiringi pola ritmis khas musik jazz dari bass dan drum menyambut kedatangan reporter Mapren di studio Gayam 16, Jalan Matrigawen Lor No.9, Yogyakarta. Terlihat tiga lelaki memainkan gamelan dan dua lainnya bermain bass dan drum. Pada sisi kanan studio – tempat lima lelaki tadi, terdapat sebuah rumah yang dijadikan kantor bagi komunitas Gayam 16.


Gayam 16 merupakan sebuah komunitas seni yang mewadahi para pemain serta pecinta gamelan untuk berkarya dan mengekspresikan diri melalui alat musik tradisional ini.


“Mulanya, pendirian Gayam 16 oleh Sapto Raharjo dimaksudkan sebagai kantor sekretariat Yogyakarta Gamelan Festival (YGF), sebuah festival gamelan yang kala itu tergabung dalam Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) lalu memisahkan diri pada 1999. Namun, seiring berjalannya waktu kegiatan komunitas ini terus berkembang,” kata Desyana Wulani Putri atau yang akrab dipanggil Putri, Manajer Keuangan dan Rumah Tangga Gayam 16.


Secara garis besar, kata Putri, terdapat tiga kegiatan yang umumnya dilakukan oleh Komunitas Gayam 16: Festival, Workshop Gamelan, dan program lainnya yang berhubungan dengan performance gamelan. Untuk kegiatan festival, Komunitas Gayam 16 rutin mengadakan Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) setiap tahunnya. Terakhir kali, perhelatan gamelan berskala internasional ini dilaksanakan tanggal 7,10, 11 dan 13 hingga 15 Juli 2018 di 0 KM Yogyakarta dan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) Universitas Gadjah Mada. Hampir sama seperti tahun-tahun sebelumnya, gelaran YGF yang ke-23 ini memadukan beberapa acara seperti: konser, pameran, dan workshop tentang gamelan.


Selain Yogyakarta Gamelan Festival, kegiatan festival lain yang diadakan Komunitas Gayam 16 ialah Gamelan Gaul. Kegiatan ini diciptakan sebagai wadah bagi remaja untuk lebih mengenal seni dan budaya. Melalui acara ini pula para remaja dapat mengekspresikan diri mereka – baik itu melalui musik (gamelan dengan seni modern), pertunjukan tari modern, bazaar, dan kegiatan lainnya yang lekat dengan kehidupan remaja. “Berbeda dengan YGF, Gamelan Gaul ini hanya diselenggarakan setiap dua tahun sekali. Dimulai sejak tahun 2005 dan terakhir kali diadakan pada 2010,” tambah Putri.


Selanjutnya, untuk kegiatan Workshop, Komunitas Gayam 16 bekerjasama dengan Leda Atomica – Perancis untuk mengenalkan seni dan budaya Yogyakarta kepada seniman Perancis.


“Jadi programnya itu (Workshop), Leda Atomica mengirimkan 15 artis dari Perancis. Artis disini maksudnya penari, musisi, pemain teater dan pemain boneka yang dikirim ke Jogja untuk kemudian belajar gamelan, tari, dan kebudayaan jawa,” jelas Putri mengenai kegiatan workshop yang sudah diadakan sejak tahun 2005 hingga saat ini.


Kegiatan lain yang dilakukan Komunitas Gayam 16 ialah belajar gamelan bagi masyarakat umum yang dinamakan Gamelan Mben Surup. Kegiatan belajar gamelan bareng ini diadakan setiap Jumat malam, terbuka bagi siapa saja, dan tidak dipungut biaya sepeser pun.

Komunitas yang Bersifat Komunal dan Keanggotaan yang Tidak Terikat


Karena Gayam 16 bersifat komunal, maka keanggotaan komunitas ini tidak dapat dihitung secara pasti. Mereka yang bergabung dalam komunitas ini dapat datang dan pergi.


“Karena sifatnya yang komunal, jadi untuk keanggotaan tidak ada. Orangnya (anggota) datang dan pergi, tidak terikat, maksudnya seperti itu. Lain halnya ketika membuat suatu event, Yogyakarta Gamelan Festival misalnya, maka kami mempunyai struktur organisasi yang jelas. Jadi kelihatan dengan jelas berapa orang yang terlibat di dalamnya. Tapi ketika ngomongin (keanggotaan) Gayam 16, komunitas ini bentuknya jadi komunal maka tidak bisa diketahui dengan pasti jumlah anggotanya,” kata Putri ketika ditanya mengenai keanggotaan Komunitas Gayam 16.


Suasana Program Gamelan Mben Surup – Dokumentasi: Dianggi Ananda Putri

Karena siftanya yang komunal itu, keanggotaan komunitas ini beberapa kali mengalami pasang-surut. “Anggota itu (Gayam 16) ada yang tahun ini dia aktif lalu dua tahun tidak aktif dan kemudian aktif kembali. Ini karena mereka (anggota Gayam 16) juga bergabung dalam beberapa komunitas gamelan lainnya” kata Putri saat ditemui di kantor Gayam 16, Sabtu (10/11/2018)


20 Tahun Bertahan dan Tetap Eksis dalam Arus Modernisasi


Sejak didirikan pada tahun 1998, komunitas gamelan yang kini berusia 20 tahun ini dapat bertahan dan terus eksis ditengah terpaan budaya modern. Padahal pekerjaan ini tidak mudah mengingat komunitas ini bergerak dalam bidang seni dan budaya khususnya gamelan – yang cenderung dilupakan oleh generasi muda.


Keberhasilan ini salah satunya dikarenakan cara pandang Komunitas Gayam 16 terhadap gamelan itu sendiri. Seperti yang dikatakan Putri kepada reporter Mapren, Gayam 16 tidak hanya melihat gamelan sebagai instrumen musik. Lebih dalam, Komunitas Gayam 16 melihat gamelan sebagai suatu Spirit. Spirit yang dimaksud ialah kebersamaan.


“Kami (Komunitas Gayam 16) melihat gamelan sebagai suatu spirit. Spirit kebersamaan. Ketika kamu memainkan gamelan, kamu harus mendengarkan orang lain. Ketika kamu memainkan gamelan, tidak ada pemimpin disitu. Kamu tidak bisa egois dan memainkan gamelan itu sendiri. Karena ketika kamu egois dan bermain sendiri, orang lain hanya akan melihat ke kamu. Hal ini menyebabkan tidak terciptanya suatu simfoni yang utuh. Lain halnya ketika kamu bermain dengan mendengarkan instrumen lain atau teman mu. Maka akan tercipta suatu simfoni dan membentuk suatu kesatuan yang utuh. Makanya kami melihat gamelan secara utuh, tidak hanya sebuah instrumen musik. Tetapi filosofi di dalamnya yakni kebersamaan” jelas Putri dengan nada penuh semangat dan mata yang berbinar.


Selain itu, Gayam 16 juga melihat gamelan bukan hanya sebagai alat musik kuno. Menurut komunitas ini, gamelan merupakan alat musik yang fleksibel. Gamelan, kata Putri, tidak melulu berhubungan dengan keraton, atau hanya dimainkan di keraton. Gamelan tidak sesempit itu, tegas Putri. Melalui cara pandang ini, Komunitas Gayam 16 mencoba untuk menghadirkan gamelan dalam suatu kemasan yang berbeda. Kemasan ini tentunya disesuaikan dengan perkembangan zaman.


Contohnya pada kelompok Youngsters Gamelan 16 dan Sarongrove yang berada dibawah Komunitas Gayam 16. Dua kelompok tersebut memadukan gamelan dengan alat musik yang modern. Youngsters Gamelan 16 misalnya yang memadukan gamelan dengan alat musik combo seperti bass, drum, hingga vokal. Tidak hanya memadukan 2 instrumen yang berbeda, kelompok ini juga memadukan gamelan dengan sentuhan dan ciri khas musik jazz. Berbeda dengan Youngsters yang menghadirkan gamelan dengan cita rasa musik jazz, Sarongrove menghadirkan gamelan dalam balutan musik elektronik. Sarongrove memadukan gamelan dengan alat musik saron, rebab, kendang, violin, electone, gitar, vokal, dan tentu saja digital music computer.


Inovasi yang dilakukan kedua kelompok tersebut sukses menghadirkan gamelan dalam level yang berbeda. Gamelan hadir dalam cita rasa musik kekinian dan berkelas tanpa menghilangkan identitas gamelan itu sendiri. Inovasi tersebut juga turut andil dalam menarik minat masyarakat khususnya generasi muda terhadap seni dan budaya tradisional khususnya gamelan. Antusias mereka ini dapat dilihat dari jumlah peserta Gamelan Mben Surup yang tidak pernah sepi peminat. Seperti yang dikatakan Ageng, Pemateri dalam program Gamelan Mben Surup. “Setiap harinya selalu ada peserta baru, hari ini empat orang yang baru bergabung untuk belajar dari nol.”


“Karena zamannya itu berubah, kita juga harus ikutin perubahan itu. Kalo seandainya kita tetap ngikutin apa yang kita punya, zaman dulu, ya udah. Gamelannya masuk museum,” tegas Putri kepada reporter Mapren diakhir wawancara.

175 views0 comments

Comments


bottom of page