Di tengah hoax yang makin banyak, kualitas media online patut kita pertanyakan.
Oleh: Dianggi Ananda Putri
Berkembangnya teknologi komunikasi disertai perubahan budaya membaca masyarakat dari media konvensional menjadi digital, mendorong tumbuh suburnya media siber (online) di Indonesia. Dikutip dari merdeka.com, Dewan Pers Indonesia mengatakan hingga tahun 2017 jumlah total media siber mencapai 43.300. Namun sayang, tingginya jumlah pertumbuhan tadi tidak diiringi dengan peningkatan kualitas dari produk yang dihasilkan.
Indikasi dari pernyataan di atas dapat dilihat dari konten media siber yang sering menggunakan judul clickbait pada pemberitaannya. Berita clickbait ini biasanya menggunakan judul yang menggemparkan dan melebih-lebihkan. Antara judul, lead, dan isi berita tidak memiliki koherensi.
Indikasi selanjutnya dapat dilihat dari pemilihan serta kedalaman media siber membahas suatu isu. Banyak media siber yang lebih memilih isu terkait kehidupan artis ibukota – yang sering dirasa tidak penting dan tidak memengaruhi hajat hidup masyarakat.
Contohnya, pada berita “Bak Pinang DIbelah Dua, 10 Potret Khayru Hardikusumo Putra Gunawan,” yang diberitakan idntimes pada (2/10/2018). Dari segi pemilihan isu, berita tersebut jelas kurang penting bagi kehidupan masyarakat luas. Isu berita tersebut sangat bersifat personal. Kemudian dari segi pembahasan, isu tersebut hanya dibahas di permukaannya saja. Berita tersebut juga tidak mencantumkan wawancara dari pihak yang terkait. Tidak adanya keterangan dari pihak yang terkait ini dapat menimbulkan pertanyaan: “apakah benar hal yang dikatakan dalam berita tersebut?” dan lainnya.
Temuan lain yang menguatkan pernyataan jika media siber belum memiliki kualitas yang baik ialah, sering ditemukannya kata yang mubazir, kesalahan penulisan kata yang berujung pada kerancuan makna dalam suatu kalimat. Seperti dalam berita “Menteri Lukman Ingin Tokoh Agama Dapat Rangkul Kaum LGBT”, (Kompas.com, 24/01/2018). Pada paragraf 6 berita tersebut dituliskan “Lukman menambahkan, perilaku hubungan seksual melanggar ketentuan agama. Oleh karenanya, perilaku itu perlu dihindari.” Dari pernyataan tersebut dirasa ada beberapa kata yang kurang dan berujung pada kerancuan makna, sehingga menimbulkan pertanyaan: “perilaku hubungan seksual yang bagaimana?”
Fenomena seperti diatas jelas menciderai semangat Jurnalisme dan melanggar poin kedua dalam Pedoman Media Siber tentang verifikasi dan keberimbangan berita. Kesalahan seperti tadi terjadi di banyak media siber karena mereka saling berlomba untuk menjadi yang pertama dalam memberitakan suatu isu. Hal ini menyebabkan prinsip kecepatan menjadi yang utama. Selain itu, tujuan untuk mendatangakan pengunjung pada situs berita online menjadikan konten yang seharusnya menjadi sumber informasi menjadi lebih bernuansa hiburan. Sehingga isu yang dipilih menjadi remeh temeh – atau dalam bahasa kerennya isu receh.
Melihat fenomena rendahnya kualitas media siber tadi, Mapren menawarkan beberapa solusi dari sudut pandang kami agar kualitas media siber menjadi lebih baik. Pertama, peningkatan kemampuan wartawan. Karena tidak bisa dipungkiri banyak kesalahan penulisan terjadi akibat wartawan kurang awas terhadap kata-kata yang mereka tulis. Kemauan wartawan untuk melakukan verifikasi terhadap tulisan mereka juga menjadi salah satu penyebab dari fenomena tadi.
Kedua dari segi pengawasan terhadap media siber. Dengan dibentuknya Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) pada 18 April tahun lalu diharapkan dapat meningkatkan kualitas konten media siber menjadi lebih baik. Karena sesuai dengan tujuan dibentuknya, AMSI berkomitmen untuk menuju media siber yang professional, kredibel, dan independen.
Comments