Apakah Pedoman Etika Media Siber sudah menjalani fungsinya dengan baik?
Oleh: Rayhan Naufal Asyrafi
Di tengah era perkembangan dunia digital saat ini, kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi media ikut bergeser. Kebiasaan mengkonsumsi media cetak mulai ditinggalkan atas alasan kepraktisan dan kemudahan. Media online menjadi pilihan utama atas kebutuhan berita di zaman mobilitas yang tinggi saat ini.
Kebiasaan pasar pembaca tersebut akhirnya membuat media merasa harus menyesuaikan diri dengan hal tersebut. Semakin cepat media tersebut melakukan pemberitaan, maka media tersebut merasa akan menjadi pilihan utama bagi pembaca.
Sayangnya, kecepatan tidak akan pernah bisa berjalan beriringan dengan ketepatan. Jika sebuah media mementingkan nilai kecepatan sebuah berita, maka muncul kemungkinan besar bahwa nilai ketepatan berita tersebut menjadi kecil. Nilai verifikasi sebuah berita menjadi tidak lagi diperhatikan atas dasar kecepatan.
Padahal, verifikasi menjadi salah satu poin penting yang ditetapkan di pedoman media siber. Hal ini diatur dalam poin kedua di pedoman media siber.
Jadi, bisa dikatakan media yang mengabaikan nilai verifikasi sama saja dengan mengabaikan paedoman media siber. Harusnya, ketika media mengabaikan pedoman tersebut, kredibilitas media tersebut patut dipertanyakan.
Akhir - akhir ini kita melihat bahwa beberapa media nasional mengutip ucapan Prabowo Subiato secara keliru tentang pemindahan kedubes Australia dari Tel Aviv ke Yerusalem. Bahkan, media Australia turut mengutipnya secara keliru.
Laman BBC pada 22 November 2018 menurunkan laporan berjudul: "Prabowo: Pemindahan kedutaan Australia ke Yerussalem bukan masalah untuk Indonesia". Laman Republika Online juga menurunkan laporan yang berjudul "Prabowo: Pemindahan Kedutaan Australia Bukan Masalah Bagi RI" pada Kamis 22 November 2018 pukul 22:19 WIB. Laman berita VivaNews juga menurunkan artikel dengan judul: "Prabowo Tak Masalah Kedutaan Australia Pindah ke Yerusalem" pada Jumat 23 November 2018 pukul 04:15 WIB. Sedangkan media australia Sydney Morning Herald (SHM) menuliskan artikel berjudul: "Indonesian Presidential Candidate Says Jerusalem Move No Problem" pada Kamis, 22 November 2018.
Pengutipan secara keliru ini tentu menunjukkan bahwa media telah mengabaikan nilai verifikasi dalam melakukan pemberitaan. Padahal, dalam pedoman tersebut juga diatur bahwa media diberikan kesempatan untuk melakukan ralat, koreksi, dan hak jawab dalam pemberitaan yang dilakukannya. Tentunya, ralat dan koreksi dilakukan tanpa menghilangkan jejak digital dari berita sebelumnya.
Justru, ketika media melakukan pemberitaan yang salah, media tersebut dilarang untuk melakukan pencabutan berita. Kecuali, ada pertimbangan mendesak seperti mengandung unsur SARA. Hal ini juga harus dipertimbangkan secara matang oleh pihak dewan dan pihak media melakukan publikasi atas alasan pencabutan berita tersebut.
Namun, pedoman tersebut seolah tetap diabaikan oleh beberapa media pada kejadian tersebut. Laman Vivanews justru mencabut berita tersebut tanpa melakukan publikasi sebelum atau sesudahnya.
Hal ini menunjukkan bahwa pedoman media siber seolah tidak terlalu diperhatikan oleh para media online. Padahal, pedoman media siber yang dikeluarkan oleh dewan pers adalah pedoman yang ditetapkan bersama. Sudah semestinya semua menghormati pedoman tersebut tanpa terkecuali.
Lebih parah lagi, dewan pers seolah tidak melakukan tindakan pada kejadian tersebut. Tidak ada lagi kabar lanjutan mengenai apa yang dilakukan oleh Vivanews.
Dari kejadian ini kami melihat bahwa pedoman etika media siber menjadi seperti tidak punya kekuatan untuk menciptakan lingkungan media yang lebih baik. Ketika pihak media seolah abai pada pedoman dalam melakukan pemberitaan, dewan pers pun seperti acuh tak acuh dalam menindaklanjuti pelanggaran pedoman etika media siber. Sudah sepatutnya, bahwa kedua belah pihak antara pihak media dan dewan pers harus saling bersinergi untuk menciptakan lingkungan media yang baik bagi masyarakat ke depannya.
Comentarios