Apakah media online masih mempunyai kredibilitasnya?
Oleh: Ganisha Puspitasari
Internet telah mengubah seluruh aspek kehidupan, dengan adanya teknologi ini, semua terasa mudah dan cepat. Tentu, hal tersebut turut memengaruhi perkembangan media. Seolah-olah semua media konvensional secara perlahan beralih ke digital. Dari mulai koran, majalah, bahkan radio, mulai menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi.
Kompas.com, kumparan.com, tribunnews.com, adalah beberapa contoh media yang berhasil menyelam ke dalam arus media digital. Mereka sadar akan pergeseran perilaku masyarakat dalam membaca berita. Menurut survei Nielsen Consumer & View, pada tahun 2017, tingkat pembelian media cetak secara personal hanya sebesar 20%, menurun dibandingkan 2013 yang mencapai 28%. Selain itu media cetak hanya menjadi pilihan kelima masyarakat untuk mendapatkan informasi, dengan pentrasi sebesar 8%. Sedangkan internet menduduki peringkat ke-3 dengan penetrasi 43%. Terlebih lagi pembaca melalui meda internet didominasi oleh generasi milenial (20 – 49 tahun) sebesar 80%.
Perlahan tapi pasti, media digital terus berkembang. Lalu apa yang membuat masyarakat memilih menggali informasi melalui media digital? Tidak dapat dipungkiri, mereka sangat unggul dalam hal kecepatan. Jika media cetak memerlukan waktu dan proses yang cukup lama dalam mempublikasikan suatu isu, pada media digital waktu publikasi hanya memerlukan hitungan menit ataupun jam.
Kecepatan adalah nilai utama di era digital. Jurnalis dituntut bergerak cepat dalam menggali informasi. Terlebih lagi dalam peristiwa besar, seperti kecelakaan pesawat, ataupun kasus kriminal. Tentu, tuntutan ‘serba cepat’ menimbulkan banyak permasalahan. Mulai dari problematika ejaan hingga akurasi berita yang perlu dipertanyakan.
Mirisnya, di era yang serba cepat ini, kesalahan-kesalahan tersebut terkesan dimaklumi. Dengan mudahnya, media dapat menghapus berita yang telah dipublikasi jika tulisan mereka tidak akurat. Kesalahan ejaan pun dapat ditemukan dengan mudahnya. Lalu apakah tuntutan ‘serba cepat’ pantas dijadikan alasan untuk menomor duakan seni jurnalistik di dalam sebuah tulisan berita? Tentu tidak, namun dalam realitanya hal ini masih dipertanyakan.
Etika jurnalistik sudah diatur jelas ke dalam beberapa pasal yang telah disepakati oleh persatuan wartawan Indonesia dan badan hukum lainnya. Seperti contohnya dalam pasal 3 KEJ, dinyatakan bahwa, “Wartawan Indonesia selalu mennguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asa praduga tak bersalah.” Yang perlu digaris bawahi adalah menguji informasi. Tentu dalam hitungan menit ataupun jam sangat sulit bagi jurnalis untuk melakukannya. Tuntutan ‘serba cepat’ membuat klarifikasi informasi berkurang atau bahkan tidak dilakukan. Tidak heran jika akurasi berita patut dipertanyakan.
Prinsip berita lainnya yang harus dipertanyakan dalam media online adalah ‘cover both sides’. Lagi-lagi akibat tuntutan ‘serba cepat’, jurnalis kerap kali meninggalkan prinsip ini. Keterangan narasumber yang ala kadarnya pun bisa dijadikan menjadi berita. Mungkin media berpikir, yang penting cepat, masalah kelanjutannya dapat diikuti dalam berita yang berbeda. Memang benar, kelanjutannya dapat diikuti dalam berita yang akan dipublikasi selanjutnya. Akan tetapi, akibat hal ini, masyarakat sering kali hanya mendapat informasi yang menggantung. Bahkan belum tentu masyarakat akan membaca berita kelanjutannya. Tentu hal ini akan menimbulkan permasalahan jika terjadi salah paham.
‘Serba cepat’ memang menjadi keunggulan media online, tapi tulisan jurnalistik adalah sebuah seni. Seni jurnalistik tidak boleh padam, hanya karena tuntutan kecepatan di era digital. Proses redaksional, seperti pengeditan dan pemilihan kelayakan berita tidak bisa ditinggalkan. Karena sejatinya, khalayak berhak mendapat informasi yang utuh dan akurat.
Comments