top of page

Tidak ada Jazz Hari ini, Tidak ada Jazz Kemarin.

Jazz itu aliran musik atau strategi Marketing?


Oleh: Dianggi Ananda Putri, Ganisha Puspitasari, Rayhan naufal Asyrafi


Ilustrasi Jazz - Sumber: http://etreports.com/wp-content/uploads/2018/04/Jazz-Music.jpg

Mungkin kalian pernah membaca kalimat seperti apa yang dtuliskan pada judul di atas. Ya, kalimat tersebut mengutip apa yang dituliskan oleh Aan Mansyur. Dalam tulisannya Ia pernah menulis "Tidak ada New York hari ini, Tidak ada New York kemarin". Kalimat itu disunting dengan mengganti kata New York dengan Jazz untuk menggambarkan bagamaina di tengah tumbuhnya industri festival Jazz yang besar saat ini, sesungguhnya kita tengah kehilangan substansi dari jazz itu sendiri.


Sebelum berangkat ke fenomena tersebut, mari kita melihat sedikit apa yang sebenarnya disebut dengan "Jazz".


“Jazz adalah musik apresiasi. Melalui jazz, seorang musisi dapat memunculkan

karakter, ekspresi, maupun pendapat. Ada makna yang ingin disampaikan dari setiap

alunan jazz yang dimainkan,” begitulah jawaban Aji Wartono, pemilik Warta Jazz

serta pendiri Ngayogjazz saat ditanya mengenai makna jazz di matanya.


Jazz memiliki warna berbeda dibanding genre musik lainnya. Musik asal Amerika ini,

sering dinilai sebagai musik yang memusingkan. Banyak stigma yang beranggapan

bahwa, hanya golongan tertentu yang dapat menikmati alunan musik jazz. Lalu,

sebenarnya apa sih musik jazz itu?


Terlalu banyak ahli yang mencoba mendefinisikan apa itu jazz. Salah satunya adalah

Travis A Jackson, seorang pakar musik asal Amerika, ia menyatakan bahwa, Jazz

adalah musik yang mencakup kualitas seperti berayun, improvisasi, interaksi

kelompok, mengembangkan sebuah suara individu dan menjadi terbuka untuk

kemungkinan musik yang berbeda.


Berbeda dengan musik pop, seorang musisi jazz akan memainkan musik sesuai

dengan apa yang dirasakannya. Entah itu kebahagiaan, kesedihan, ataupun kebencian,

semua akan terdengar melalui musik yang dilantunkannya. “Kita dapat mendengar

kemarahan seorang musisi melalui suara saksofon yang dimainkan selayaknya orang

yang sedang berteriak,” ujar Aji Wartono.


Variatif dan Ekspresif


Tentu, seorang musisi jazz akan memiliki performance yang berbeda dari panggung

satu ke panggung lainnya. Mereka memainkan alunan musik sesuai dengan apa yang

ingin mereka ekspresikan. Dengan media alat musik seperti gitar, piano, trombon,

ataupun saksofon, para musisi akan mencurahkan isi hati mereka kepada penonton.

Bahkan, sebagian dari mereka tidak memerlukan lirik lagu untuk berekpresi melalui

jazz.


“Berbeda dengan Raisa yang selalu menyanyikan lagu yang sama, pembawaaan yang

sama, bahkan joke yang sama dalam setiap penampilannya. Musik jazz yang

sebenarnya tidak seperti itu. Mereka mengekpresikan apa yang mereka rasakan di atas

panggung tersebut, dan pastinya yang mereka ekspresikan di panggung lainnya akan

berbeda,” jelas Aji.


Sesuai dengan perkembangan zaman, kini classic jazz, sudah memiliki banyak sub-

genre. Latin Jazz, Fusion Jazz, Cool Jazz, dan Pop Jazz, merupakan sebagian kecil

diantaranya. Perkembangan musik jazz, memang tidak luput dari budaya dimana

musik jazz itu berada. Seperti di Indonesia, banyak musik jazz yang sudah

dialkulturasi dengan gaya melayu.


Mengalkulturasi musik jazz dengan budaya setempat memang kerap memunculkan

opini beragam dari kalangan penikmat jazz. Akan tetapi, alkulturasi memang dinilai

perlu, guna mempertahankan eksistensi jazz di lingkungan masyarakat. Sehingga,

stigma jazz yang terkesan hanya untuk sebagian kecil golongan, seiring berjalannya

waktu akan pudar.


Alkulturasi tentu tidak membuat ciri khas genre jazz hilang. Setiap musik jazz, entah

sub-genre apa yang dianutnya, tentu harus memerhatikan elemen-elemen khusus,

diantaranya, blue notes, improvisasi, polyrhythms, sinkopasi, dan shuffle notes.

Gabungan dari kelima unsur inilah yang menjadikan jazz sebagai suatu genre musik

yang unik dan berkarakter.


Menjual "Pop" dengan nama "Jazz"


Sekitaran tahun 2006/2007, nama jazz menjadi sangat sexy untuk dijual. Nama "jazz" menjanjikan sesuatu yang glamour, keren, dan eksklusif. Hal ini membuat jazz menjadi sangat digandrungi oleh pasar.


Semakin lama, semakin banyak pula yang terlibat dalam lingkup ini. Sebagai pemenuh permintaan pasar pendengar, festival wajib dihadirkan. Namun, festival pun terus berkembang dari masa ke masa. Java Jazz, awalnya mereka menghadirkan para musisi dengan aliran yang purely jazz. Namun, seiring dengan perkembangan dunia musik, para musisi tersebut digantikan oleh para musisi pop di festival tersebut. Hal yang sebenarnya tidak masuk di logika, namun tak dapat dihindarkan.


Penampilan NDX AKA di Prambanan Jazz 2017 - Sumber: Kompas.com

Festival yang awalnya dibuat untuk memenuhi hasrat para pendengar jazz dan mengenalkan musik jazz ke orang - orang menjadi kurang efektif dalam kelanjutannya. Kita melihat bahwa tahun ini Prambanan Jazz mengundang Barasuara yang sama sekali tidak beraliran Jazz. Sebelumnya, pada 2017 NDX AKA membuat Prambanan Jazz mendadak jadi dangdut.


Kebiasaan pasar tersebut tentunya yang mempengaruhi keputusan penyelenggara dalam menggarap festival tersebut. Kami bertanya pada Aji Wartono, owner dari Wartajazz. Dia mengatakan bahwa ia juga menyayangkan bagaimana festival jazz besar saat ini justru tidak membantu mengangkat nama dari pelaku jazz itu sendiri. Para musisi pop yang banyak dihadirkan saat ini menjadi hal yang penting bagi para penyelenggara untuk menarik crowd penonton itu sendiri.


Aji menambahkan bahwa penyelenggara tentu akan mempunyai orientasi tentang materi dari festival yang mereka garap tersebut. Dana yang besar menjadi kunci suksesnya festival tersebut tentunya. Sponsor menjadi jalan keluar bagi kebutuhan dana tersebut. Dan musisi pop yang terkenal dan sedang naik namanya tentu akan menarik sponsor untuk membantu pihak penyelenggara. Jika mereka tetap idealis untuk tetap menghadirkan jazz secara pure, penyelenggara akan kehilangan sponsor tersebut. Ia tak membantah pula bahwa ada beberapa sponsor yang concern agar festival mampu mengenalkan dan memberi apresiasi terhadap jazz, namun jumlahnya sendikit.


Lalu jika didominasi oleh musisi pop, mengapa festival tetap kekeh untuk menggunakan embel - embel jazz? Ya karena jazz itu sendiri mempunyai value sendiri bagi para penonton. Dan juga para festival tersebut sudah sedari awal menggunakan embel - embel jazz dan besar dari itu. Sudah tentu mereka akan kehilangan penontonnya jika menghapusnya. Kurang lebih jazz hanya digunakan sebagai strategi marketing dari festival itu sendiri.


Aji sendiri sangat mengapresiasi festival yang menggunakan nama jazz. Tapi disayangkan bagaimana publikasi dan promosi yang dilakukan tidak mengangkat nama dari para pelaku jazz itu sendiri. Mengapa mereka mempublikasikan musisi pop dengan embel - embel jazz? lebih parah lagi beberapa musisi yang dikenal Aji pernah bercerita bahwa mereka bermain di festival jazz, namun tidak dimainkan di jam prime time.


Beberapa festival namun tetap masih ada yang coba menghadirkan jazz secara sepenuhnya. Aji menyebut Ubud Jazz dan Ngayogjazz adalah festival yang masih mempertahankan itu. Aji sendiri salah satu orang yang menggagas acara ngayogjazz itu sendiri. Ia mengatakan bahwa Ngayogjazz bisa tetap bertahan seperti itu karena mereka berjalan dengan basic komunitas. Jadi para komunitas jazz diberikan panggung untuk bermain dan promosi. Ngayogjazz sendiri tidak menutup mata dari sponsor. Ia mengatakan bahwa Ngayogjazz tetap harus mengikuti sponsor, namun masih melakukan negoisasi untuk mempertahankan idealismenya.


Melihat Potensi dan Idealisme yang Dipertahankan


Hadirnya Jazz Kampoeng Djawi merupakan contoh festival yang masih bernafaskan Jazz

murni. Meski tidak sebesar festival lain yang manggunakan embel-embel Jazz - tapi malah

didominasi musik Pop, festival ini tentunya menjadi oase bagi musisi dan pecinta Jazz garis

keras. Selain Jazz Kampoeng Djawi, ada juga Mahakam Jazz River dan NgayogJazz yang

masih mempertahankan konsep pure Jazz.


Penampilan Kika Sprangers pada Ngayogjazz 2018 - Dokumentasi: Rayhan Naufal Asyrafi

Tiga festival tadi membuktikan bahwa Jazz masih memiliki eksistensi meski pasarnya tidak

besar jika dibandingkan dengan musik Pop. Biasanya, festival yang masih berani

mempertahankan konsep Jazz murni, diselenggarakan oleh komunitas Jazz tanpa adanya

campur tangan sponsor. Pun kalau ada sponsor, acara masih tetap dalam pakem Jazz.


Seperti yang dikatakan Rudy Ermawan, penggagas Jazz Kampoeng Djawi, dalam

wawancaranya dengan wartajazz.com. Rudy mengatakan hingga tahun 2017, Jazz

Kampoeng Djawi mandiri dan belum menerima dukungan dari sponsor. Hal ini agar konsep

dan suasana acara tidak diintervensi pihak lain.


Selain festival yang diadakan oleh komunitas Jazz, acara musik yang nge-Jazz banget dapat

ditemui di beberapa kafe yang menawarkan life music seperti Red White Jazz lounge di

Jakarta dan Pyramid kafe, Yogyakarta. Red White Jazz Lounge yang terletak di kawasan

Kemang, Jakarta merupakan hasil gagasan Indra Lesmana, musisi Jazz ternama di Indonesia.

Setiap minggunya kafe ini menyuguhkan musik Jazz premium. Benny dan Barry Likumahuwa,

Idang Rasdiji, Tompi, dan Boby Limijaya Quintet merupakan beberapa musisi Jazz ternama

yang pernah menghibur pecinta Jazz di kafe tersebut.


Perkembangan era digital juga memberi kesempatan dan kemudahan bagi musisi Jazz.

Adanya Youtube dan Spotify menjadi wadah bagi musisi Jazz untuk mengkomunikasikan

karyanya kepada pecinta Jazz. Pun sebaliknya pendengar setia musik Jazz dapat mencari

alternatif lain jika ingin mendengarkan musik yang terkenal dengan kebebasan

berimprovisasinya ini.


Meski tidak sepopuler musik Pop, musik Jazz sesungguhnya masih mendapatkan tempat di

hati masyarakat Indonesia. Hadirnya festival dan life music di kafe – kafe yang

menghadirkan musisi Jazz pure Jazz menjadi bukti eksistensi Jazz. Selama musik Jazz masih

memiliki pendengar setianya, genre ini akan terus eksis walau tidak menjadi pemeran utama

dalam industri musik Indonesia.



16 views0 comments

Comments


bottom of page