Jazz itu aliran musik atau strategi Marketing?
Oleh: Dianggi Ananda Putri, Ganisha Puspitasari, Rayhan naufal Asyrafi
Mungkin kalian pernah membaca kalimat seperti apa yang dtuliskan pada judul di atas. Ya, kalimat tersebut mengutip apa yang dituliskan oleh Aan Mansyur. Dalam tulisannya Ia pernah menulis "Tidak ada New York hari ini, Tidak ada New York kemarin". Kalimat itu disunting dengan mengganti kata New York dengan Jazz untuk menggambarkan bagamaina di tengah tumbuhnya industri festival Jazz yang besar saat ini, sesungguhnya kita tengah kehilangan substansi dari jazz itu sendiri.
Sebelum berangkat ke fenomena tersebut, mari kita melihat sedikit apa yang sebenarnya disebut dengan "Jazz".
“Jazz adalah musik apresiasi. Melalui jazz, seorang musisi dapat memunculkan
karakter, ekspresi, maupun pendapat. Ada makna yang ingin disampaikan dari setiap
alunan jazz yang dimainkan,” begitulah jawaban Aji Wartono, pemilik Warta Jazz
serta pendiri Ngayogjazz saat ditanya mengenai makna jazz di matanya.
Jazz memiliki warna berbeda dibanding genre musik lainnya. Musik asal Amerika ini,
sering dinilai sebagai musik yang memusingkan. Banyak stigma yang beranggapan
bahwa, hanya golongan tertentu yang dapat menikmati alunan musik jazz. Lalu,
sebenarnya apa sih musik jazz itu?
Terlalu banyak ahli yang mencoba mendefinisikan apa itu jazz. Salah satunya adalah
Travis A Jackson, seorang pakar musik asal Amerika, ia menyatakan bahwa, Jazz
adalah musik yang mencakup kualitas seperti berayun, improvisasi, interaksi
kelompok, mengembangkan sebuah suara individu dan menjadi terbuka untuk
kemungkinan musik yang berbeda.
Berbeda dengan musik pop, seorang musisi jazz akan memainkan musik sesuai
dengan apa yang dirasakannya. Entah itu kebahagiaan, kesedihan, ataupun kebencian,
semua akan terdengar melalui musik yang dilantunkannya. “Kita dapat mendengar
kemarahan seorang musisi melalui suara saksofon yang dimainkan selayaknya orang
yang sedang berteriak,” ujar Aji Wartono.
Variatif dan Ekspresif
Tentu, seorang musisi jazz akan memiliki performance yang berbeda dari panggung
satu ke panggung lainnya. Mereka memainkan alunan musik sesuai dengan apa yang
ingin mereka ekspresikan. Dengan media alat musik seperti gitar, piano, trombon,
ataupun saksofon, para musisi akan mencurahkan isi hati mereka kepada penonton.
Bahkan, sebagian dari mereka tidak memerlukan lirik lagu untuk berekpresi melalui
jazz.
“Berbeda dengan Raisa yang selalu menyanyikan lagu yang sama, pembawaaan yang
sama, bahkan joke yang sama dalam setiap penampilannya. Musik jazz yang
sebenarnya tidak seperti itu. Mereka mengekpresikan apa yang mereka rasakan di atas
panggung tersebut, dan pastinya yang mereka ekspresikan di panggung lainnya akan
berbeda,” jelas Aji.
Sesuai dengan perkembangan zaman, kini classic jazz, sudah memiliki banyak sub-
genre. Latin Jazz, Fusion Jazz, Cool Jazz, dan Pop Jazz, merupakan sebagian kecil
diantaranya. Perkembangan musik jazz, memang tidak luput dari budaya dimana
musik jazz itu berada. Seperti di Indonesia, banyak musik jazz yang sudah
dialkulturasi dengan gaya melayu.
Mengalkulturasi musik jazz dengan budaya setempat memang kerap memunculkan
opini beragam dari kalangan penikmat jazz. Akan tetapi, alkulturasi memang dinilai
perlu, guna mempertahankan eksistensi jazz di lingkungan masyarakat. Sehingga,
stigma jazz yang terkesan hanya untuk sebagian kecil golongan, seiring berjalannya
waktu akan pudar.
Alkulturasi tentu tidak membuat ciri khas genre jazz hilang. Setiap musik jazz, entah
sub-genre apa yang dianutnya, tentu harus memerhatikan elemen-elemen khusus,
diantaranya, blue notes, improvisasi, polyrhythms, sinkopasi, dan shuffle notes.
Gabungan dari kelima unsur inilah yang menjadikan jazz sebagai suatu genre musik
yang unik dan berkarakter.
Menjual "Pop" dengan nama "Jazz"
Sekitaran tahun 2006/2007, nama jazz menjadi sangat sexy untuk dijual. Nama "jazz" menjanjikan sesuatu yang glamour, keren, dan eksklusif. Hal ini membuat jazz menjadi sangat digandrungi oleh pasar.
Semakin lama, semakin banyak pula yang terlibat dalam lingkup ini. Sebagai pemenuh permintaan pasar pendengar, festival wajib dihadirkan. Namun, festival pun terus berkembang dari masa ke masa. Java Jazz, awalnya mereka menghadirkan para musisi dengan aliran yang purely jazz. Namun, seiring dengan perkembangan dunia musik, para musisi tersebut digantikan oleh para musisi pop di festival tersebut. Hal yang sebenarnya tidak masuk di logika, namun tak dapat dihindarkan.
Festival yang awalnya dibuat untuk memenuhi hasrat para pendengar jazz dan mengenalkan musik jazz ke orang - orang menjadi kurang efektif dalam kelanjutannya. Kita melihat bahwa tahun ini Prambanan Jazz mengundang Barasuara yang sama sekali tidak beraliran Jazz. Sebelumnya, pada 2017 NDX AKA membuat Prambanan Jazz mendadak jadi dangdut.
Kebiasaan pasar tersebut tentunya yang mempengaruhi keputusan penyelenggara dalam menggarap festival tersebut. Kami bertanya pada Aji Wartono, owner dari Wartajazz. Dia mengatakan bahwa ia juga menyayangkan bagaimana festival jazz besar saat ini justru tidak membantu mengangkat nama dari pelaku jazz itu sendiri. Para musisi pop yang banyak dihadirkan saat ini menjadi hal yang penting bagi para penyelenggara untuk menarik crowd penonton itu sendiri.
Aji menambahkan bahwa penyelenggara tentu akan mempunyai orientasi tentang materi dari festival yang mereka garap tersebut. Dana yang besar menjadi kunci suksesnya festival tersebut tentunya. Sponsor menjadi jalan keluar bagi kebutuhan dana tersebut. Dan musisi pop yang terkenal dan sedang naik namanya tentu akan menarik sponsor untuk membantu pihak penyelenggara. Jika mereka tetap idealis untuk tetap menghadirkan jazz secara pure, penyelenggara akan kehilangan sponsor tersebut. Ia tak membantah pula bahwa ada beberapa sponsor yang concern agar festival mampu mengenalkan dan memberi apresiasi terhadap jazz, namun jumlahnya sendikit.
Lalu jika didominasi oleh musisi pop, mengapa festival tetap kekeh untuk menggunakan embel - embel jazz? Ya karena jazz itu sendiri mempunyai value sendiri bagi para penonton. Dan juga para festival tersebut sudah sedari awal menggunakan embel - embel jazz dan besar dari itu. Sudah tentu mereka akan kehilangan penontonnya jika menghapusnya. Kurang lebih jazz hanya digunakan sebagai strategi marketing dari festival itu sendiri.
Aji sendiri sangat mengapresiasi festival yang menggunakan nama jazz. Tapi disayangkan bagaimana publikasi dan promosi yang dilakukan tidak mengangkat nama dari para pelaku jazz itu sendiri. Mengapa mereka mempublikasikan musisi pop dengan embel - embel jazz? lebih parah lagi beberapa musisi yang dikenal Aji pernah bercerita bahwa mereka bermain di festival jazz, namun tidak dimainkan di jam prime time.
Beberapa festival namun tetap masih ada yang coba menghadirkan jazz secara sepenuhnya. Aji menyebut Ubud Jazz dan Ngayogjazz adalah festival yang masih mempertahankan itu. Aji sendiri salah satu orang yang menggagas acara ngayogjazz itu sendiri. Ia mengatakan bahwa Ngayogjazz bisa tetap bertahan seperti itu karena mereka berjalan dengan basic komunitas. Jadi para komunitas jazz diberikan panggung untuk bermain dan promosi. Ngayogjazz sendiri tidak menutup mata dari sponsor. Ia mengatakan bahwa Ngayogjazz tetap harus mengikuti sponsor, namun masih melakukan negoisasi untuk mempertahankan idealismenya.
Melihat Potensi dan Idealisme yang Dipertahankan
Hadirnya Jazz Kampoeng Djawi merupakan contoh festival yang masih bernafaskan Jazz
murni. Meski tidak sebesar festival lain yang manggunakan embel-embel Jazz - tapi malah
didominasi musik Pop, festival ini tentunya menjadi oase bagi musisi dan pecinta Jazz garis
keras. Selain Jazz Kampoeng Djawi, ada juga Mahakam Jazz River dan NgayogJazz yang
masih mempertahankan konsep pure Jazz.
Tiga festival tadi membuktikan bahwa Jazz masih memiliki eksistensi meski pasarnya tidak
besar jika dibandingkan dengan musik Pop. Biasanya, festival yang masih berani
mempertahankan konsep Jazz murni, diselenggarakan oleh komunitas Jazz tanpa adanya
campur tangan sponsor. Pun kalau ada sponsor, acara masih tetap dalam pakem Jazz.
Seperti yang dikatakan Rudy Ermawan, penggagas Jazz Kampoeng Djawi, dalam
wawancaranya dengan wartajazz.com. Rudy mengatakan hingga tahun 2017, Jazz
Kampoeng Djawi mandiri dan belum menerima dukungan dari sponsor. Hal ini agar konsep
dan suasana acara tidak diintervensi pihak lain.
Selain festival yang diadakan oleh komunitas Jazz, acara musik yang nge-Jazz banget dapat
ditemui di beberapa kafe yang menawarkan life music seperti Red White Jazz lounge di
Jakarta dan Pyramid kafe, Yogyakarta. Red White Jazz Lounge yang terletak di kawasan
Kemang, Jakarta merupakan hasil gagasan Indra Lesmana, musisi Jazz ternama di Indonesia.
Setiap minggunya kafe ini menyuguhkan musik Jazz premium. Benny dan Barry Likumahuwa,
Idang Rasdiji, Tompi, dan Boby Limijaya Quintet merupakan beberapa musisi Jazz ternama
yang pernah menghibur pecinta Jazz di kafe tersebut.
Perkembangan era digital juga memberi kesempatan dan kemudahan bagi musisi Jazz.
Adanya Youtube dan Spotify menjadi wadah bagi musisi Jazz untuk mengkomunikasikan
karyanya kepada pecinta Jazz. Pun sebaliknya pendengar setia musik Jazz dapat mencari
alternatif lain jika ingin mendengarkan musik yang terkenal dengan kebebasan
berimprovisasinya ini.
Meski tidak sepopuler musik Pop, musik Jazz sesungguhnya masih mendapatkan tempat di
hati masyarakat Indonesia. Hadirnya festival dan life music di kafe – kafe yang
menghadirkan musisi Jazz pure Jazz menjadi bukti eksistensi Jazz. Selama musik Jazz masih
memiliki pendengar setianya, genre ini akan terus eksis walau tidak menjadi pemeran utama
dalam industri musik Indonesia.
Comments